Meneladani Akhlak Kepemimpinan Rasul


Oleh Dr.H. SOFYAN SAURI, M.Pd.

SUDAH saatnya bangsa Indonesia dan para pemimpin elite politik bangsa menyadari, merenungi, bermuhasabah, introspeksi diri menghadapi keterpurukan bangsa dan aneka macam musibah yang dialami bangsa akhir-akhir ini. Dengan tafakur renungan tersebut diharapkan dapat memperoleh jalan ke arah perbaikan pribadi yang lebih baik. Untuk hal itu sudah sepantasnya kita memahami dan banyak mengenal sosok pribadi Nabi Muhammad saw., dalam memimpin, beliau memiliki akhlak terpuji, seperti hal ini banyak diungkap Alquran dan Al-Hadis. Beliau diutus ke dunia ini dengan membawa tugas menyempurnakan akhlak.

Akhlak di dalam bernegara yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw., antara lain adalah bermusyawarah. Secara etimologis musyawarah berasal dari kata syawara yang bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini berkembang, mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Di Indonesia menjadi nama lembaga terhormat yang dapat melahirkan pendapat untuk menciptakan peraturan di dalam masyarakat (MPR). Bukan menjadi ajang perkelahian dan perdebatan yang tidak mencerminkan nilai bermusyawarah.

Nabi Muhammad saw., diperintah oleh Allah agar bermusyawarah dengan para sahabatnya (Q.S. Ali Imran 3:159) "Dan bermusyawarahlah dengan mereka". Ali ibn Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam bermusyawarah terdapat 7 hal penting, yakni mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, dan mengikuti atsar.

Lapangan musyawarah pada hal-hal yang berhubungan dengan ijtihadiyah. Sebagaimana diungkap dalam Alquran dengan kata al-amr (wasyawirhum fil amri, wa amruhum syuroo bainahum). Istilah amruhum pada ayat tersebut mengandung arti masalah bersama (common problems), yaitu masalah-masalah yang menyangkut kepentingan atau nasib anggota masyarakat yang besangkutan, mulai dari urusan keluarga, organisasi, kenegaraan sampai urusan antarbangsa.

Tata cara musyawarah

Dalam bermusyawarah, kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu benar maka beliau mengamalkannya. Misalnya pelaksanaan perang Badar; Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang; Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwakilan. Seperti pada perang Hunain tentang rampasan perang.

Dalam bermusyawarah, ada beberapa langkah yang dilakukan Rasulullah dalam bermusyawarah, seperti terungkap dalam surat Ali Imran ayat 159 yaitu, lemah lembut, pemaaf, dan senantiasa memohon ampunan Allah SWT. Selain bermusyawarah dalam keberhasilan Rasulullah memimpin, juga menegakkan keadilan.

Istilah pemimpin umat atau waliy atau ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw., setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad saw., tidak bisa digantikan, tetapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri, tugas beliau dapat digantikan.

Orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 55, yakni (1) Beriman kepada Allah SWT. Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT. Maka tentu saja yang pertama kali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul-Nya dan rukun iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.

(2) Mendirikan salat. Salat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan salat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah SWT. Diharapkan niai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam salat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudu seorang imam yang sedang memimpin salat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

(3) Membayar zakat. Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha menyucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari harta dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya KKN). Lebih dari itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum duafa dan mustadh'afiin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

(4) Selalu tunduk patuh kepada Allah SWT. Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang yang ruku' (wahum rakiu'n). Ruku' adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang Muslim yang kaffah (totalitas), baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah. Akidahnya benar bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan, ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaknya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dsb), dan mu'amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Kepemimpinan Rasul

Karakteristik kepemimpinan Rasulullah saw. adalah, kejujuran yang teruji dan terbukti. Kejujuran adalah perilaku kunci yang sangat efektif untuk membangun kepercayaan (kredibilitas) sebagai seorang pemimpin. Di samping itu, beliau juga cakap dan cerdas, inovatif dan berwawasan ke depan, tegas tapi rendah hati, pemberani tapi bersahaja, kuat fisik dan tahan penderitaan.

Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter dapat dibentuk melalui pendidikan.

Pola kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw., dapat dijadikan rujukan yang utama dalam kehidupan umat manusia, terutama bagi yang beriman dan bertakwa, serta selalu berzikir kepada Allah SWT. Hal ini sejalan sebagaimana diungkap Allah dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21, "Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kamu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir dan dia banyak menyebut nama Allah".

Akhlak Rasulullah yang terpuji itu dapat dijadikan bahan dalam proses pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan (formal, informal dan nonformal), yang pada akhirnya dengan usaha yang maksimal dan tawakal kepada Allah SWT, akan memperoleh hasil yang sangat memuaskan yakni terciptanya karakter manusia yang berakhlak mulia. Wallahu A'lam.***

Penulis dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Google